PWM Kalimantan Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Kalimantan Selatan
.: Home > Artikel

Homepage

FIKIH LINGKUNGAN DALAM PERPEKTIF ISLAM[1] (Sebuah Pengantar)

.: Home > Artikel > PWM
25 September 2012 09:11 WIB
Dibaca: 43211
Penulis :

H. Fahmi Hamdi, Lc., MA.[2]

 

PENDAHULUAN

Persoalan-persoalan krisis lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan makhluk hidup. Bencana alam seringkali menjadi berita di berbagai media massa. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan merupakan fenomena yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu.

Secara eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya, Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]: 41). Ayat ini, sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai makhluk yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan bagaimana tata kelola lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi kerusakan alam semesta ini.

Mengamini ayat di atas, Al-Qur’an sudah dengan tegas melarang manusia untuk melakukan kerusakan dalam bentuk apapun di muka bumi ini, Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-A’raf [7]: 56). Mengenai ayat ini, Thahir bin ‘Asyur dalam tafsir beliau yang monumental, At-Tahrir wa At-Tanwir menyatakan bahwa melakukan kerusakan pada satu bagian dari lingkungan hidup semakna dengan merusak lingkungan hidup secara keseluruhan[3]. Dalam ayat lain, dijelaskan bahwa melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup merupakan sifat orang-orang munafik dan pelaku kejahatan, Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.(QS. Al-Baqarah [2]: 205)

Dalam konteks ini, maka perumusan fikih lingkungan hidup menjadi penting dalam rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru bahwa fikih tidak hanya berpusat pada masalah-masalah ibadah dan ritual saja, tetapi bahasan fikih sebenarnya juga meliputi tata aturan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama terhadap berbagai realita sosial kehidupan yang tengah berkembang[4].

Realitas sosial saat ini telah membuktikan adanya kerusakan lingkungan. Penanganannya secara teknik-intelektual sudah banyak diupayakan, namun secara moral-spiritual belum cukup diperhatikan dan dikembangkan. Oleh sebab itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai dan norma serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.

Singkatnya, upaya untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang kini sedang melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fiqh. Mengingat, fiqh pada dasarnya merupakan "jembatan penghubung" antara etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk keselamatan alam semesta (kosmos) ini[5].

Makalah ini mencoba mengantarkan pemahaman dan penggalian rumusan fikih tentang tata kelola lingkungan hidup. Bagaimana sebenarnya perspektif fikih terhadap lingkungan hidup, apa saja prilaku yang mesti dilakukan dan dihindari menurut konsep fikih demi terciptanya pemanfaatan dan kelestarian lingkungan sesuai dengan ajaran agama Islam.

 

 

 

 

PENGERTIAN FIKIH LINGKUNGAN HIDUP

Dalam bahasa arab fikih lingkungan hidup dipopulerkan dengan istilah fiqhul bi`ah, yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah.

Secara bahasa “Fiqh” berasal dari kata Faqiha-Yafqahu-Fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-fahmu (pemahaman)[6]. Sedangkan secara istilah, fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci)[7].

Adapun kata “Al-Bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[8].

Dari sini, dapat kita berikan pengertian bahwa fikih lingkungan adalah ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber dari dalil-dalil yang terperinci tentang prilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dan menjauhkan kerusakan.

 

URGENSI LINGKUNGAN HIDUP DALAM ISLAM

Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama makhluk (termasuk lingkungan hidupnya) sebenarnya telah memiliki landasan normatif baik secara implisit maupun ekplisit tentang pengelolaan lingkungan ini.

A.    Pelestarian Lingkungan Dalam Al-Qur’an

1.      Melestarikan Lingkungan Hidup Merupakan Manifestasi Keimanan

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".(QS. Al-A’raf [7]: 85)

2.      Merusak Lingkungan Adalah Sifat Orang Munafik dan Pelaku Kejahatan

“ Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.(QS. Al-Baqarah [2]: 205)

3.      Alam semesta merupakan anugerah Allah untuk manusia

Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.  (QS. Luqman [31]: 20)

Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.(QS. Ibrahim [14]: 32-33)

4.      Manusia adalah khalifah untuk menjaga kemakmuran lingkungan hidup

Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-An’am [6]: 165)

5.      Kerusakan yang terjadi di muka bumi oleh karena ulah tangan manusia

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuura [42]: 30)

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-A’raf [7]: 56)

 

B. Pelestarian Lingkungan Dalam Hadis-Hadis Nabawi

Selaras dengan ayat-ayat di atas, Rasulullah saw melalui hadis-hadis beliau juga telah menanamkan nilai-nilai implementatif pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup ini, antara lain:

1.      Penetapan Daerah Konservasi

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمَى النَّقِيعَ ، وَأَنَّ عُمَرَ حَمَى السَّرَفَ وَالرَّبَذَةَ.[9]

“Sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan Naqi’ sebagai daerah konservasi, begitu pula Umar menetapkan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi”.

2.      Anjuran Menanam Pohon dan Tanaman

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ.[10]

Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam sebuah pohon atau sebuat tanaman, kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan ia akan mendapat pahala sedekah”.

3.      Larangan Melakukan Pencemaran

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَ الْبَرَازَ فِى الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ[11]

Rasulullah saw bersabda: “Takutilah tigaperkara yang menimbulkan laknat; buang air besar di saluran air (sumber air), di tengah jalan dan di tempat teduh

4.      Berlaku Ihsan Terhadap Binatang

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ مِنِّى. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ حَتَّى رَقِىَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِى هَذِهِ الْبَهَائِمِ لأَجْرًا فَقَالَ: فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْر[12]ٌ.

Abu Huruairah ra. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda: “Ketika seorang laki-laki sedang dalam perjalanan, ia kehausan. Ia masuk ke dalam sebuah sumur itu, lalu minum di sana. Kemudian ia keluar. Tiba-tiba ia mendapati seekor anjingdi luar sumur yang sedang menjulurkan lidahnya dan menjilat-jilat tanah lembab karena kehausan. Orang itu berkata, ‘Anjing ini telah merasakan apa yang baru saja saya rasakan.’ Kemudian ia kembali turun ke sumur dan memenuhi sepatunya dengan air lalu membawanya naik dengan menggigit sepatu itu. Sesampainya di atas ia minumi anjing tersebut. Karena perbuatannya tadi Allah berterimakasih kepadanya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kalau kami mengasihi binatang kami mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Berbuat baik kepada setiap makhluk pasti mendapatkan pahala.”

Tentunya, masih banyak ayat dan hadis seumpama di atas yang kesemuanya memuat pesan akan pentingnya kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

 

C. Pelestarian Lingkungan Dalam Perspektif Fikih

Sebagai disiplin ilmu yang mengatur hubungan manusia terhadap Tuhannya, hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, hubungan manusia terhadap sesama manusia, hubungan manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, maka tidak diragukan bila fikih memiliki peran yang krusial dalam merumuskan tata kelola lingkungan hidup yang sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Dalam bukunya yang berjudul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam, Dr. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa fikih sangat concern terhadap isu-isu lingkungan hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembahasan-pembahasan yang terdapat dalam literatur fikih klasik, seperti: pembahasan thaharah (kebersihan), ihya al-mawat (membuka lahan tidur), al-musaqat dan al-muzara’ah (pemanfaatan lahan milik untuk orang lain), hukum-hukum terkait dengan jual beli dan kepemilikan air, api dan garam, hak-hak binatang peliharaan dan pembahasan-pembahasan lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia[13].

Beliau juga menegaskan, bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini sejalan dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam kulliyāt al-khams, yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzu al-aql (melindungi akal), hifzu al-māl (melindungi kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu al-dīn (melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan hidup menurut beliau, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut. Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama[14].

Prilaku pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan membuat kemudharatan bagi orang lain bertentangan dengan kaedah-kaedah yang telah dirumuskan oleh para fuqaha (al-Qawaid al-Fiqhiyyah), antara lain:

-          Kaedah: لا ضرار ولا ضرار (Tidak boleh melakukan kemudharatan terhadap diri sendiri dan orang lain)

-          Kaedah: الضرر يزال بقدر الإمكان (Kemudharatan harus dihilangkan semampunya)

-          Kaedah: الضرر لا يزال بضرر مثله (Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang sama)

-          Kaedah: يتحمل الضرر الأدنى لدفع الضرر الأعلى (Boleh melakukan mudharat yang lebih ringan untuk mengatasi mudharat yang lebih besar)

-          Kaedah: يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام (Melakukan mudharat yang khusus demi mencegah mudharat umum)

-          Kaedah: إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما (Apabila terjadi pertentangan dua hal yang membahayakan, maka boleh melakukan yang lebih ringan bahayanya)

-          Kaedah: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan)

Dalam konteks pelestarian lingkungan ini, Yusuf Qardhawi bahkan menegaskan penerapan hukuman sanksi berupa kurungan (At-Ta’zir) bagi pelaku pengrusakan lingkungan hidup yang ditentukan oleh pemerintah (Waliyyul amr), seiring dengan hukum yang terkandung dalam hadis Rasulullah saw:

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا[15].

Perumpamaan orang-orang yang mengakkan hukum Allah dan orang yang melakukan pelanggaran, adalah laksana suatu kaum yang sedang menumpang sebuah kapal.  Sebagian dari mereka menempati tempat yang di atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Maka orang-orang yang bertempat di bawah, jika hendak mengambil air mereka harus melewati orang yang ada di atas mereka. Maka berinisiatif untuk membuat lobang pada bagian mereka, agar tidak akan mengganggu orang yang ada di atas. Jika kehendak mereka itu dibiarkan saja, pastilah akan binasa seluruh penumpang kapal, dan jika mereka dicegah maka merekapun selamat dan selamatlah pula orang-orang lain seluruhnya[16].

 

TATA KELOLA LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba mengemukan beberapa contoh konsep fikih lingkungan dalam bentuk tabel berikut ini[17]

TINDAKAN

KONSEP FIKIH

LANDASAN HUKUM

Melakukan pencemaran lingkungan

-       Pencemaran lingkungan disebabkan oleh perusahaan dan prilaku yang menyebabkan pencemaran secara nyata membahayakan lingkungan hidup, hukumnya haram.

-       Adapun apabila pencemaran tersebut memiliki tingkat yang rendah dibanding maslahat yang diperoleh, maka hukumnya dibolehkan dengan catatan:

1.      Pembangunannya harus di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk.

2.      Berusaha melakukan inovasi teknologi untuk mengurangi dampak pencemaran yang ditimbulkan

3.      Fungsi kontrol harus dilakukan oleh pemerintah secara ketat agar tidak menimbulkan dampak yang berbahaya.

-     Air merupakan fasilitas umum yang harus dijaga kemaslahatan dan kemanfaatannya

 

-     Ayat yang menyatakan larangan berbuat kerusakan (QS. Al-A’raf [7]: 56)

-     Hadis-hadis tentang larangan buang hajat di tempat yang umum dan mengakibatkan pencemaran, antara lain:

-   لا يبولن أحدكم في الماء الدائم الذي لا يجري ثم يغتسل فيه.

-   اتقوا الملاعن الثلاثة: البراز في الموارد وقارعة الطريق والظل.

 

-     Kaedah fiqhiyyah:

-   لا ضرار ولا ضرار

-   الضرر يزال

-   تصرف الإمام منوط بالمصلحة

-       Dalam kitab fatwa Imam Ramli disebutkan:

( سُئِلَ ) عَمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ عَمَلِ النَّشَادِرِ خَارِجَ الْبَلَدِ لِأَنَّ نَارَهُ يُوقَدُ بِالرَّوْثِ وَالْكِلْسِ فَإِذَا شَمَّتْ الْأَطْفَالُ دُخَانَهُ حَصَلَ لَهُمْ مِنْهُ ضَرَرٌ عَظِيمٌ فِي الْغَالِبِ وَرُبَّمَا مَاتَ بَعْضُهُمْ مِنْهُ فَعَمِلَ شَخْصٌ مَعْمَلَ نَشَادِرٍ فِي وَسَطِ الْبَلَدِ وَأَوْقَدَ عَلَيْهِ بِمَا ذُكِرَ فَشَمَّ دُخَانَهُ طِفْلٌ رَضِيعٌ فَمَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَهَلْ الْإِيقَادُ حَرَامٌ فَيَأْثَمُ بِهِ وَيُعَزَّرُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ وَيُمْنَعُ مِنْهُ وَيَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِهِ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيقَادُ الْمَذْكُورُ إذَاغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ تَضَرُّرُ الْغَيْرِ بِهِفَيَأْثَمُ بِهِ وَلِلْحَاكِمِ تَعْزِيرُهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ بِسَبَبِهِ وَمَنْعِهِ مِنْهُ وَيَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِسَبَبِهِ مُطْلَقًا

Fenomena sampah

-       Memelihara kebersihan adalah perintah agama yang harus dilaksanakan

-       Dilarang untuk membuang sampah sembarangan yang dapat mengakibatkan mudharat bagi lingkungan sekitar baik karena penyakit maupun menimbulkan bau yang tidak nyaman.

-       Pemerintah berhak memberikan sangsi terhadap pembuang tidak pada tempatnya

-     Lihat dalil-dalil di atas

-     Ayat-ayat dan hadis-hadis tentang thaharah

-     Hadis lain:

إن الله طيب يحب الطيب، نظيف يحب النظافة، كريم يحب الكرم، جواد يحب الجود

-     Kaedah fikih:

-          لا ضرر ولا ضرار

-          تصرف الإمام منوط بالمصلحة

-      

Melakukan penghijauan dan penanaman pohon

-       Diperintahkan dan dianjurkan

-       Melakukannya mendapatkan pahala

-       Pemerintah berhak untuk menentukan tempat tertentu untuk dijadikan sebagai wilayah konservasi

-       Islam memerintahkan pemilik tanah yang tidak mampu menggarap tanahnya sendiri agar digarap oleh orang lain.

-     مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

-     قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا ، أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَه.

-     أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمَى النَّقِيعَ ، وَأَنَّ عُمَرَ حَمَى السَّرَفَ وَالرَّبَذَةَ

-     إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ

Pelestarian sumber daya alam hewani

-       Pemanfaatan binatang: Hukum Islam melarang untuk melakukan pembunuhan hewan kecuali untuk kepentingan konsumsi.

-       Syariat juga menggariskan bahwa hewan yang berhak untuk dibunuh adalah hewan-hewan yang berbahaya saja.

-       Manusia dituntut untuk berbuat baik tidak hanya kepada sesama, melainkan lebih luas meliputi makhluk hidup di sekitarnya, baik binatang maupun tumbuhan.

-       Melakukan penyiksaan terhadap binatang merupakan perbuatan dosa

-       Syariat juga memerintahkan untuk menjaga kelestarian satwa

-   QS. An-Nahl: 5, 66, 80

-   Hadis larangan membunuh burung dan binatang lainnya bukan untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan:

- عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ ، قَالَ : سَمِعْتُ الشَّرِيدَ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا عَبَثًا عَجَّ إِلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ : يَا رَبِّ إِنَّ فُلاَنًا قَتَلَنِي عَبَثًا وَلَمْ يَقْتُلْنِي لِمَنْفَعَةٍ.

- عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ إِنْسَانٍ يَقْتُلُ عُصْفُورًا فَمَا فَوْقَهَا بِغَيْرِ حَقِّهَا إِلاَّ سَأَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَمَا حَقُّهَا ؟ قَالَ : حَقُّهَا أَنْ يَذْبَحَهَا فَيَأْكُلَهَا وَلاَ يَقْطَعَ رَأْسَهَا فَيَرْمِيَ بِهِ

-   Hadis jenis binatang yang boleh dibunuh:

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحِلِّ وَالْحَرَمِ الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأَبْقَعُ وَالْفَارَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا »

-   Hadis tentang seseorang yang dimasukkan ke dalam surga karena memberi minum anjing.

-   Hadis seorang wanita yang masuk neraka karena mengikat kucing hingga mati karena lapar.

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ- قَالَ فَقَالَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ - لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا، وَلاَ سَقَيْتِهَا حِينَ حَبَسْتِيهَا، وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِيهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ

-   Hadis-hadis tentang cara menyembelih yang benar dan baik

-   Hadis laknat bagi orang yang mengukir tato pada wajah keledai

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِى وَجْهِهِ فَقَالَ: لَعَنَ اللَّهُ الَّذِى وَسَمَهُ

- Hadis melestarikan satwa:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنَّ الْكِلاَبَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا فَاقْتُلُوا مِنْهَا الأَسْوَدَ الْبَهِيمَ »

Fenomena penggundulan hutan dan sumber daya alam nabati

-       Fikih islam melarang praktek ini karena berakibat pada kerusakan dan bencana yang mengancam makhluk hidup

-   QS. Saba: 15-17

-   Hadis larangan menebang pohon yang mengganggu kepentingan orang lain:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِى النَّارِ ». سُئِلَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ يَعْنِى مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِى فَلاَةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِى النَّارِ

-   Kaedah-kaedah fiqhiyyah tentang larangan berbuat kemudharatan.

 

Pemanfaatan dan Pelestarian sumber daya kelautan.

-       Islam memberikan izin pemanfaatan sumber daya kelautan dengan tetap menjaga kelestariannya

-   QS. Iberahim: 32

-   QS. An-Nazi’at: 30-33

 

 

PENUTUP

Dari paparan di atas, dapat penulis simpulkan beberapa hal: Pertama, Konsep Fikih lingkungan pada hakikatnya adalah konsep aturan-aturan yang dirumuskan oleh Islam dalam rangka mengatur pemanfaatan yang berorientasi pada kelestarian lingkungan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis.

Kedua,Hubungan manusia sebagai khalifah di muka bumi terhadap lingkungan hidupnya harus berdasarkan atas asas pemanfaatan yang benar dan menghindarkan kerusakan.

Ketiga,Kesadaran akan tata kelola lingkungan hidup sebagaimana yang sudah digariskan oleh fikih Islam perlu ditanamkan kepada setiap pribadi muslim, dan menjadi tanggung jawab bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan.

 

Banjarmasin, 23 September 2012

 



[1]Makalah disampaikan pada Orientasi Guru Mata Pelajaran Fikih Pada MA. Tahun 2012 di Banjarmasin tanggal 25 September 2012.

[2]Dosen Fikih dan Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah pada fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin, Alumni S1 Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar dan S2 Universitas Emir Abdel Kader Constantine Al-Jazair konsentrasi Fikih Ushul Fikih.

[3]Muhammad Thahir bin Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: As-Sadad At-Tunisiah Lin-Nasyr, 1984) Juz 8 hlm. 174.

[4]Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press, 2011) hlm. 45

[5]Ahmad Syafi’i SJ.”Fiqih Lingkungan; Revitalisasi Ushul Al-Fiqh Untuk Konservasi Dan Restorasi Kosmos”, Paper disampaikan pada 9th Annual Conference of Islamic Studies, Surakarta 2 – 5 November 2009.

[6]Muhammad bin Ya’qub al-Fayrus Abadi, Al-Qamus Al-Muhith, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2005) cet. VIII hlm. 1250

[7]Jamaluddin Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi, Nihayatu As-Sul Fi Syarhi Minhaji Al-Wushul `ila ‘Ilmi Al-Ushul, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1999) cet. 1 juz 1 hlm. 16

[8]Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[9]Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughirah Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Hadits 2370, (Kairo: Dar Al-Sya’ab, 1987)Juz 5, hlm. 63

[10]Ibid, Hadis 2320 (Kairo: Dar Al-Sya’ab, 1987) Juz 3, hlm. 135

[11]Abu Daud Sulaimanbin Al-Asy'ats As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, t.t.) Juz 1, hlm. 11.

[12] Ibid, Hadis 2363 (Kairo: Dar Al-Sya’ab, 1987) Juz 3, hlm 146

[13]Yusuf Al-Qardhawi, Ri’ayatu Al-Bi`ah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2001) hlm. 39

[14]Ibid, hlm 44

[15]Lihat shahih bukhari, hadis no. 2493

[16]Yusuf Al-Qardhawi, op.cit, hlm 40-42

[17]Tabel ini dibuat, hanya untuk memberikan gambaran konsep kepedulian fikih terhadap lingkungan hidup.


Tags: MPI
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Fiqh

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website