PWM Kalimantan Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Kalimantan Selatan
.: Home > Artikel

Homepage

MENYELAMI MAKNA QURBAN

.: Home > Artikel > PWM
24 Oktober 2012 08:56 WIB
Dibaca: 4859
Penulis :

Oleh: Abdul Khaliq, M.Pd

 

Idul Adha merupakan hari besar umat Islam setelah Idul Fitri, pada hari tersebut umat Islam sedunia mengumandangkan takbir mengakui akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam, manusia dan  segala isinya. Idul Adha yang dirayakan setiap tahun, pastinya akan mengingatkan pada seseorang yang mempunyai keimanan yang luar biasa, penyabar dan senantiasa bertawakkal secara total kepada Allah Swt, sosok itu adalah Nabi Ibrahim As, bapak agama monotheisme yang selalu dijunjung tinggi oleh agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Ibrahim As hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyembah patung dan berhala, di tengah kondisi budaya masyarakat seperti itu, Ibrahim As dengan akal sehatnya senantiasa berusaha mencari hakekat kebenaran dengan melakukan berbagai renungan dan refleksi terhadap budaya yang ada di sekitarnya, dia sama sekali keluar dari pengaruh cara berfikir masyarakat kala itu.

Dalam proses pencarian kebenaran tersebut, Ibrahim As sampailah pada titik keyakinan yang benar bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Tak Terhingga, Dia lah Tuhan yang telah menciptakan alam ini beserta segala isinya sekaligus mengaturnya, dan tentu saja secara tidak langsung telah menasakh (menghapus) keyakinan atas berhala-berhala yang sedang disembah oleh bapak dan masyarakatnya saat itu.

Hal tersebut terekam dalam firmannya dalam Surah Al An’am ayat 74 – 79: dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: “Inilah Tuhanku”. tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.” kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.

Nabi Ibrahim As telah meletakkan landasan-landasan agama yang mengesakan Tuhan (kebenaran yang hakiki), karenanya ditegaskan oleh Alquran, bahwa Ibrahim As bukanlah seorang Yahudi, dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi Ibrahim As adalah orang yang hanif (lurus) dan dia juga seorang muslim (yakni orang yang senantiasa pasrah menyerahkan dirinya kepada Tuhan) dan yang terpenting bahwa Ibrahim As bukanlah seorang yang musyrik. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah Ali Imran ayat 67: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.

Hari Raya Idul Adha selain disebut sebagai Hari Raya Haji juga dikenal dengan Hari Raya Qurban. Ibadah Qurban bermula ketika Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Ibrahim As melalui mimpi untuk menyembelih putera kesayangannya Ismail yang diceritakan dalam surah Ash Shaffat ayat 100 – 111 sebagai berikut:

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Ujian yang sangat berat tersebut pun sanggup dilalui oleh Ibrahim As dengan penuh kepasrahan demi kecintaannya kepada Allah Swt. Ibrahim As telah berani berjihad guna melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering kali menguasai setiap hati manusia. Di tengah-tengah kepasrahan Nabi Ibrahim As untuk menyembelih putra idamannya tersebut, Allah Swt pun mengutus Malaikat-Nya turun ke bumi untuk menggantikan Ismail yang akan disembelih dengan domba sembelihan. Kemudian dari cerita dan peristiwa yang dialami Ibrahim As tersebut tradisi qurban terus menerus dilakukan hingga zaman sekarang.

Dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim As untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim As pada titah sang pencipta.

Qurban secara simbolik wujudnya adalah berupa hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada Tuhan. Tetapi sesungguhnya, yang sampai kepada Allah Swt bukanlah daging dan darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaan. Allah Swt berfirman dalam surah Al Hajj ayat 37 : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Dengan demikian, yang harus diqurbankan atau disembelih adalah sifat-sifat kebinatangan sebagai lambang ketaatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Qurban bukan pula untuk “mengambil hati” yang Maha Kuasa, Allah Swt tidak pernah tergantung dengan hamba-Nya, karena itu Allah Swt tidak pernah mengharapkan akan darah dan daging hewan qurban tersebut, tetapi yang dinilai adalah ketaatan, rasa syukur dan keikhlasan untuk berqurban dan membagi harta dengan orang yang memerlukan salah satunya lewat pembagian daging hewan qurban. Senada dengan hal tersebut Ali Syari’ati (1997), mengemukakan bahwa ritual qurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan.

Dengan berqurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah qurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda. Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus qurban memiliki tiga makna penting sekaligus.

Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Qurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi. Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah qurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Qurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu. Ketiga, makna bahwa apa yang diqurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.

 

Penutup

Pesan Idul Adha (Qurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas). Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri. Dalam kesehariannya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya saja, yang terlepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal tersebut, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan di tengah-tengah  kita.

 

Penulis:

Sekretaris Majelis Pustaka & Informasi

PWM Kalimantan Selatan

 

HP. 085248615813


Tags: MPI
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Qurban

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website