PWM Kalimantan Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Kalimantan Selatan
.: Home > Berita > Kajian Kemuhammadiyahan: Memahami Muhammadiyah Diantara Peta Madzhab Keislaman

Homepage

Kajian Kemuhammadiyahan: Memahami Muhammadiyah Diantara Peta Madzhab Keislaman

Kamis, 06-07-2017
Dibaca: 1424

Ada satu pertanyaan, apakah kita harus terikat dengan madzhab tertentu, ataukah boleh kita bernaung di semua madzhab lalu melakukan ijtihad tarjihi? Bagaimana dengan sikap ulama kontemporer?

Sering kita membaca di berbagai media yang menyindir Muhammadiyah karena tidak terikat dengan madzhab tertentu. Bahkan ada yang menuding Muhammadiyah sebagai organisasi yang anti madzhab. Ada pula yang menuduh Muhammadiyah terlalu berani dengan berijtihad langsung kepada Quran Sunnah dan tidak mengikat pada madzhab tertentu.

Bermadzhab dalam fikih maksudnya adalah mengikuti madzhab tertentu, seperti Syafii, Hanafi, Hambali, Maliki dan lain sebagainya. Untuk menjadi sebuah madzhab ada empat syarat, yaitu Imam, metodologi, hasil ijtihad (fikih) dan pengikut. Selama empat syarat tadi terpenuhi, maka suatu suatu madzhab sudah dapat dianggap eksis.

Dalam fikih Islam banyak sekali terdapat madzhab fikih. Sebagian ulama sampai menyebutnya lebih dari 80 madzhab, di antaranya empat madzhab yang kami sebutkan tadi, ditambah dengan Jakfariyah, Ibadhiyah, zhahiriyah, Zaidiyah, Laits, Thabari dan lain sebagainya. Dari sekian banyak madzhab, hanya sedikit yang tersisa hingga saat ini. Hal itu dikarenakan kurangnya pengikut, atau karena dominasi madzhab lain sehingga madzhabnya tadi kurang pengikut yang lama kelamaan sirna. Meski demikian, pendapat berbagai madzhab tadi, masih banyak yang terdokumen secara rapi di berbagai kitab fikih. Para ulama madzhab, umumnya akan menisbatkan pendapatnya pada madzhab tertentu dan terikat dengan fatawa dari para ulama di madzhabnya. Fikihnya pun modelnya bersambung (bersanad) hingga sampai pada imam sang pendiri madzhab. Misalnya imam subki dalam fatawanya, atau imam Nawawi, maka pendapat yang ada dalam kitab-kitab tersebut, umumnya adalah pendapat dari ulama syafiiyah. Imam Nawawi kadang juga melakukan komparasi dengan madzhab lain, namun pada akhirnya yang ditarjih adalah pendapat para ulama Syafiiyah. Artinya, secara fikih, mereka memang terikat dengan madzhab tertentu.

Bagaimana dengan ulama kontemporer? Jika kita melihat buku fikih dari para ulama kontemporer, seperti Dr. Wahbah Zuhaili, Sayid Sabiq, Dr. Yusuf Qaradhawi, Dr. Ali Jumah, Dr. Ramadhan al-Buthi, Fatawa Al-Azhar asy-Syarif, dan lain sebagainya, berbagai fatawa yang dikeluarkan oleh para ulama tersebut dan juga oleh lembaga al-Azhar, ternyata tidak terikat oleh madzhab tertentu. Benar bahwa secara personal, para ulama besar tersebut mempunyai kecenderungan pada madzhab tertentu. Bahkan secara jelas ada yang bermadzhab, seperti syaih Ali Jumah yang Syafii. Namun ketika mengeluarkan fatawa, kenyataannya tidak terikat oleh madzhab Syafii, kesimpulannya :

Para ulama itu, mengumpulkan pendapat semua madzhab, lalu memilih pendapat yang paling rajih

Syaih Athiyah Saqar, dalam buku-buku fatawanya juga sering memberikan pendapat dari semua madzhab. Lalu beliau merajihkan pendapat tertentu dan tidak terikat dengan satu madzhab fikih. Bahkan terkadang, beliau mempersilahkan pembaca atau peminta fatawa untuk memilih pendapat yang lebih sesuai dengan kondisinya.

Hal ini juga bisa kita lihat dari buku-buku Syaih Yusuf Qaradhawi. Beliau sering mencantumkan berbagai pendapat madzhab, lalu memberikan pendapat yang paling rajih. Bahkan sering beliau memilih pendapat yang paling ringan dan sesuai dengan kondisi umat Islam saat ini.

Sikap senada juga dilakukan oleh Sayyid Sabiq pengarang fikih sunnah. Secara jelas beliau tidak terikat dengan madzhab tertentu. Jika kita baca buku fikih sunnah, kita akan menemukan pendapat para ulama dari lintas madzhab. Kemudian beliau akan merajihkan pendapat yang menurutnya paling kuat.

Semua ulama yang saya sebutkan tadi, mengakui berbagai madzhab fikih. Namun dalam praktek ijtihadnya, tidak terikat dengan madzhab tertentu. Sikap seperti ini, bukan berarti anti madzhab, atau tidak bermadzhab. Tarjih dalam ijtihad kontemporer seakan menjadi sebuah keniscayaan.

Jadi, saat ini model fikih di dunia Islam yang berkembang dan popular sesungguhnya adalah fikih manhaji, yaitu fikih yang mempunyai landasan metodologi ijtihad yang jelas. Dari metodologi ini, lantas para ulama melakukan ijtihad dengan melihat dari hasil ijtihad para ulama terdahulu dan tidak terpaku pada satu madzhab saja. Selain melihat pendapat ulama madzhab, para ulama kontemporer umumnya akan melihat dari sisi dalil dan sistem istidlal. Lalu diambillah pendapat yang paling kuat.

Selain ijtihad tarjihi, tentu ijtihad insyai, yaitu berijtihad terhadap berbagai persoalan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ijtihad insyai ini sangat penting, mengingat sangat banyak persoalan kontemporer yang membutuhkan pemecahan. Dunia menjadi sangat cepat, sebagaimana masalah yang dihadapi manusia juga sangat cepat. Butuh kepiawaian ulama untuk menghadapi kecepatan persoalan tersebut.

Bagaimana dengan Muhammadiyah?
Ternyata Muhammadiyah juga seperti ini. Muhammadiyah mengakui seluruh madzhab fikih, mengakomodir pendapat mereka, melihat sisi dalil dan istidlal mereka dan kemudian mengambil pendapat yang paling rajih. Jadi, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu bukan anti madzhab, namun Muhammadiyah menganut fikih manhaji.

Disini anggapan orang yang sering menuding Muhammadiyah tidak bermadzhab atau mengharuskan Muhammadiyah untuk mengikuti madzhab tertentu, nampaknya harus dikoreksi lagi. “Save madzhab” dengan maksud menyindir Muhammadiyah menjadi tidak relevan. Sikap ijtihad Muhammadiyah melalui sistem tarjih tersebut kenyataannya tidak sendirian. Para ulama kontemporer kelas dunia, bahkan lembaga besar Azhar pun juga melakukan sesuatu yang sama. (Wahyudi Abdurrahim) Wallahu a’lam (Sumber: Sangpencerah)


Tags: MPI
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Tarjih



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website