PWM Kalimantan Selatan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Kalimantan Selatan
.: Home > Berita > LHKP PWM KALSEL AKAN GELAR SILATURRAHIM DAN DIALOG KEBANGSAAN NEGARA PANCASILA SEBAGAI DAR AL-‘AHDI WA AL-SYAHADAH

Homepage

LHKP PWM KALSEL AKAN GELAR SILATURRAHIM DAN DIALOG KEBANGSAAN NEGARA PANCASILA SEBAGAI DAR AL-‘AHDI WA AL-SYAHADAH

Senin, 15-08-2016
Dibaca: 754

SILATURRAHIM DAN DIALOG KEBANGSAAN

NEGARA PANCASILA SEBAGAI DAR AL-‘AHDI WA AL-SYAHADAH

Kerjasama

LPASB BORNEO CENTER IAIN ANTASARI

Dengan

LEMBAGA HIKMAH DAN KEBIJAKAN PUBLIK PIMPINAN WILAYAH MUHAMMADIYAH KALSEL SERTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

Iftitah

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan anugerah Allah Swt yang harus kita syukuri. 71 tahun sudah kita menghirup udara kemerdekaan. Suka dan duka sudah dijalani anak bangsa dalam meniti hari-hari panjang perjalanan berbangsa dan bernegara.

Tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia ialah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Adapun dasar dan ideologi negara yang fundamental ialah Pancasila yang disebut oleh Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 sebagai Philosofische Grondslag yaitu “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”.

Diktum-diktum mendasar dalam Pembukaan UUD 1945 itu sungguh penting dan mendasar karena mengandung jiwa, filosofi, pemikiran, dan cita-cita bernegara untuk dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga dan penyelenggara negara dengan penuh makna dan kesungguhan. Didalamnya terkandung  suasana kebatinan dan spritualitas  yang didasari jiwa keagamaan dan keluhuran budi dari para pendiri bangsa.

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila merupakan dasar dan fondasi utama mengandung jiwa, pikiran, dan nilai-nilai Ketuhanan dan Keagamaan yang berbasis Tauhid. Spirit rohaniah ini makin menguat manakala dikaitkan dengan pasal 29 UUD 1945 yang mengakui  keberadaan dan kemerdekaan umat beragama untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan agamanya. Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung esensi nilai-nilai ketuhanan yang kuat. Oleh karena itu, Indonesia  dapat dikatakan sebagai Negara Pancasila yang religius, bukan suatu negara sekuler yang memisahkan atau menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan dari denyut nadi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Kelahiran dan kehadiran Negara Indonesia yang berjiwa ketuhanan dan keagamaan itu memiliki mata rantai sejarah yang panjang, khususnya dengan eksistensi umat Islam dan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara masa lampau. Di negeri kepulauan ini telah lahir kerajaan-kerajaan besar yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara seperti Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, Kediri, Singosari, Majapahit, Samudra Pasai, Demak, Aceh Darussalam, Siak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon, Pajajaran, Ternate, Tidore, Gowa, Buton, Bone, Luwu, Sumbawa, Bima, Pagaruyung, Banjar, Karangasem, Madura, Larantuka, Papua, dan kerajaan-kerajaan lainnya sebagai tonggak sejarah bangsa. Dalam mozaik sejarah itu peranan umat Islam dan kerajaan-kerajaan Islam sangatlah penting dan strategis dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Indonesia sebagai bangsa.

Peranan umat Islam yang bersejarah itu menemukan bentuknya yang modern dan terorganisir pada awal abad ke-20 yang ditandai oleh lahirnya gerakan kebangkitan nasional dari organisasi-organisasi Islam seperti Jami’atul Khair (1905), Sarikat Dagang Islam (1905), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain. Arus pergerakan nasional dari umat Islam tersebut bersatu dengan komponen kebangkitan nasional lainnya menjadi kekuatan dan modal besar perjuangan bangsa yang melahirkan Indonesia Merdeka yang diproklamsikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah merdeka, Indonesia mengalami dinamika kehidupan yang kompleks sebagaimana tercermin dalam beberapa periode pemerintahan di era Revolusi (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), dan Reformasi sejak tahun 1998. Dalam perjalanan Indonesia pasca kemerdekaan itu, umat Islam melalui organisasi-organisasi Islam dan para tokohnya maupun melalui gerakan massa, telah mengambil peran yang signifikan. Selain muncul berbagai krisis dan permasalahan, juga tidak dimungkiri terdapat kemajuan-kemajuan yang berarti sebagai hasil dari pembangunan nasional yang dihasilkan dari setiap periode sehingga menjadi tonggak bagi perkembangan Indonesia ke depan.

Namun perlu disadari, bahwa pasca kemerdekaan Indonesia  meskipun banyak kemajuan yang sudah dicapai, namun bangsa kita banyak menghadapi permasalahan dan tantangan yang berat dan kompleks. Kehidupan bangsa kita masih ditandai kejumudan (stagnasi), peluruhan (distorsi), dan penyimpangan (deviasi) dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.Masih banyak persoalan rumit yang mendesak untuk segera diselesaikan agar bangsa kita tidak terjatuh ke jurang kebangkrutan dan kehancuran sebagai “Negara Gagal” dan “Negara Kalah” di era persaingan global di masa yang akan datang.

Di antara masalah serius dan berat kita hadapi adalah korupsi yang masif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumber daya alam yang dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, sumber daya manusia yang rendah, dan mentalitas anak bangsa yang tidak kondusif. Kehidupan kebangsaan juga masih diwarnai oleh krisis moral dan etika, disertai berbagai paradoks  dan pengingkaran atas nilai-nilai keutamaan yang selama ini diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa. Kenyataan ini ditunjukkan oleh perilaku elit dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas dan berbagai deviasi nilai lainnya. Sementara itu, proses pembodohan, kebohongan publik, kecurangan, pengaburan nilai, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya (tadzlim) semakin merajalela di tengah ikhtiar-ikhtiar untuk mencerahkan (tanwir) kehidupan bangsa.

Situasi paradoks dan konflik nilai tersebut menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan makna dan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan , melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara, dan pada akhirnya Indonesia semakin jauh  tertinggal dalam banyak hal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Mewariskan generasi-generasi lemah (mustadh’afin), sistem dan modal sosial yang krupus, dan bumi serta sumber daya alam lainnya yang terkuras habis.

Indonesia telah banyak kehilangan peluang untuk berkembang menjadi bangsa dan negara yang berkemajuan, manakala berbagai permasalahan bangsa seperti korupsi, kemiskinan, ketenagakerjaan, kerusakan lingkungan, terkurasnya sumber daya alam, lemahnya kualitas sumber daya manusia, serta sejumlah masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya lainnya yang krusial tidak dipikirkan dan diikhtiarkan secara sungguh-sungguh, maka Indonesia berpotensi menjadi “Negara Gagal” yang salah urus dan salah arah dalam menempuh perjalanan ke depan. Situasi demikian jelas bertentangan dan mengkhianati nilai-nilai dan cita-cita kemerdekaan dari para pendiri bangsa, serta merupakan sebuah kezaliman besar terhadap anak bangsa yang akan ditinggalkan.

Karena itu, langkah-langkah rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna dalam seluruh aspek kehidupan khususnya politik, ekonomi, dan sosial budaya menuju Indonesia berkemajuan perlu segera dilakukan. Ikhtiar langkah strategis yang mendesak perlu segera dilakukan adalah membangkitkan kesadaran kembali dan memberi pencerahan terhadap konsensus dan komitmen ideologis kebangsaan. Sehingga negara Pancasila yang merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) dapat diwujudkan dengan sungguh-sungguh di bumi nusantara.

Bertolak dari pemikiran tersebut, kami dari Lembaga  Pengkajian Agama dan Sosial Budaya (LPASB) Borneo Center IAIN Antasari bekerjasama dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik  Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Banjarmasin serta Universitas Muhammadiyah Banjarmasin akan menyelenggarakan Silaturrahim dan Dialog Kebangsaan dengan tema  “ Negara Pancasila Sebagai Dar Al-‘Ahdi Wa Al-Syahadah” Refleksi 71 Tahun Indonesia Merdeka.

Kegiatan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23 Agustus 2016 di Aula Rektorat Lt. III Zafri Zam Zam IAIN Antasari Banjarmasin

 

Waktu

Materi

Keterangan

08.30 – 09.00

Registrasi

Panitia

09.00 – 10.30

Pembukaan :

a.        Pembacaan Ayat Suci Al-Qur’an

b.        Pengantar Kegiatan

 

 

c.        Sambutan PW. Muhammadiyah Kalsel

d.        Pidato Iftitah sekaligus Membuka Acara

“Salam Kebangsaan dalam Pluralitas; Menggali Kearifan Religius Islam Rahmatan Lil “Alamiin”

 

e.        Do’a

 

Zainuddin Zuhri

Dr. Wahyuddin, M. Si

(Direktur Eksekutif Borneo Center)

 

Drs. H. Tajuddin Noor, SH, MH

Prof. Dr. H. Akh. Fauzi Aseri, MA (Rektor IAIN Antasari Banjarmasin)

 

 

Ali Muamar, M. Ag

10.30 – 10.45

Break

Panitia

10.45 – 13.00

Dialog :

  1. Negara Pancasila Sebagai Dar Al-‘Ahdi Wa Al-Syahadah : Perspektif  Teologis dan Ideologis

 

 

  1. Peran Ulama, Pimpinan Ormas Islam, dan Gerakan Civil Society Dalam Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban dan Berkemajuan di Kalimantan Selatan (Tinjauan Normatif dan Sosiologis)

 

 

Hajriyanto Y. Tohari 

(Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mantan Wakil Ketua MPR RI).

 

Prof. Dr. H. Ahmad Khairudin, M.Ag

(Rektor Universitas Muhammadiyah Banjarmasin).

Moderator :

Drs. Ilham Masykuri Hamdie, M. Ag

13.00 – 13.30

Penutup / Makan Siang

Panitia

 


Tags: MPI
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: LHKP



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website